Deli Serdang | 88News.id: Sengketa lahan antara 49 warga Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, dengan PT Perkebunan Nusantara I Regional 1 (d/h PTPN II) kembali memasuki babak baru. Fakta mengejutkan disampaikan salah satu penggugat, Bernard S, yang mengungkap pengakuan langsung dari mantan Manajer PTPN II, bahwa objek lahan seluas sekitar 14 hektare yang disengketakan tidak termasuk dalam Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II.
"Beliau (mantan manajer) secara langsung mengatakan kepada saya bahwa tanah itu memang tidak masuk dalam HGU PTPN II. Jadi sangat aneh kalau sekarang tiba-tiba diklaim sebagai bagian dari aset perusahaan," ujar Bernard saat diwawancarai, Senin (22/7/2025).
Pernyataan tersebut memperkuat argumentasi warga yang selama ini merasa hak-haknya dirampas secara sepihak. Apalagi sejak awal, tanah yang disengketakan tidak pernah dikelola oleh PTPN II, melainkan justru dimanfaatkan dan dirawat oleh masyarakat sejak awal 2000-an. Bahkan tahun 2002, warga telah mendirikan rumah permanen di lokasi tanpa ada keberatan dari pihak PTPN.
Bernard juga membeberkan sejumlah kejanggalan dalam klaim HGU yang disampaikan PTPN:
1.Tidak ada patok HGU di sekitar lokasi tanah sengketa, padahal hal ini merupakan syarat mutlak dalam penerbitan izin HGU.
2.Tidak terdapat peta bidang yang menunjukkan bahwa objek perkara termasuk dalam HGU Nomor 90.
3.Lokasi sengketa justru dikelilingi oleh pemukiman warga dengan status Sertifikat Hak Milik (SHM), termasuk sebuah pabrik spring bed yang berbatasan langsung dengan tanah perkara.
4.Kesalahan sasaran okupasi via peta yang diterbitkan/dirilis
5.Melakukan somasi baru di tahun 2018 dan diduga memporak-poranda Maret 2018 dan ada kesalahan sasaran objek perkara dlm somasi 1 dan 2 tgl 12 dan 18 Jan oleh PTPN II (skrng PTPN I) yang menyebutkan lokasi objek perkara di Pasar IX sementara objek perkara berada di Pasar VII
Ia menegaskan, "Bagaimana mungkin PTPN mengklaim lokasi objek perkara sebagai bagian dari HGUnya (asetnya) sementara kantor distrik yang berbatasan langsung degan tanah objek perkara dibeton permanen keliling", tegasnya.
Pihak penggugat telah melakukan aktivitas penimbunan dan pembangunan jalan selama lebih dari enam tahun tanpa pernah diganggu pihak PTPN.
Penjualan tanah oleh warga bahkan telah diiklankan secara terbuka di media sejak tahun 2000-an, tanpa tanggapan atau gugatan dari perusahaan.
Tanah-tanah tersebut juga telah diaktekan secara sah oleh Notaris Puji Wahyuni.
Ironisnya, baru pada tahun 2018, PTPN I datang secara sepihak dengan alat berat dan merusak tanaman jagung warga tanpa pemberitahuan atau dasar hukum yang jelas. Namun bangunan rumah warga yang berdiri di lokasi sejak lama tidak dirusak, menimbulkan pertanyaan tentang konsistensi klaim mereka atas tanah tersebut.
"Jika memang itu benar HGU mereka, mengapa dibiarkan puluhan tahun? Kenapa tidak ada pemagaran, tidak ada pengelolaan, dan bahkan rumah warga dibiarkan berdiri? Ini menunjukan bahwa mereka pun tidak yakin atas klaim tersebut," tegas Bernard.
Kuasa hukum para penggugat menyebut fakta-fakta ini menegaskan adanya potensi kesewenang-wenangan dan manipulasi administrasi agraria oleh pihak perusahaan. Mereka meminta agar majelis hakim Pengadilan Negeri Lubuk Pakam memberikan perhatian serius terhadap pengakuan mantan pejabat PTPN ini.
“Saat ini kami menunggu momen penting dalam sidang kesimpulan. Kami berharap keadilan tidak hanya menjadi narasi, tapi nyata dirasakan masyarakat kecil yang selama ini dizalimi,” ungkap kuasa hukum para penggugat di kutip dalam konfrensi pers sebelumnya.
Perkara ini telah menjadi sorotan masyarakat luas dan aktivis agraria. Banyak pihak berharap keputusan akhir pengadilan kelak dapat menjadi tonggak penting dalam penegakan keadilan agraria di Sumatera Utara.
(Rel/Arm)